20

Tulisan ini sebetulnya ungkapan self-center, karena tujuan menghadirkan tulisan ini untuk menyambut kegemasan diri kembali menulis dan menyelamati diri atas sebuah pencapaian–bertahan hidup sampai umur 20 tahun! Hore!

Belakangan ini saya suka sekali menulis untuk teman-teman saya, terutama tulisan menyelamati hari kelahiran mereka. Tulisan yang tidak hanya berisikan ucapan selamat atas usia yang bertambah setahun–berkurangnya sisa hidup?– kepada mereka, tetapi juga paragraf yang menceritakan betapa sangat menggairahkan sekaligus menakutkan dunia setelah berumur 20 tahun.

Saya banyak belajar dari pengalaman hidup sebelum menginjak 20 tahun, terutama masa transisi dari umur belasan menuju 20-an. Katakan saja itu umur 18 dan 19 tahun. Di umur itu saya baru lulus sekolah menengah atas, melepas masa-masa memakai seragam, dan berangkat ke pulau Jawa untuk melanjutkan studi. Meninggalkan tanah kelahiran seperti bayi yang lepas dari ketiak ibunya. Ketiak ibu identik dengan dekapan hangat dan nyaman yang selalu ampuh menina-bobokan bayinya. Begitu pula dengan tanah kelahiran saya, telah menjadi tempat yang paling hangat, paling aman, dan paling nyaman di muka bumi. Meski pun saya selalu iri dengan tanah Jawa, bahwa orang-orang di sana selalu mendapatkan segala bentuk kemajuan, tetapi kemajuan tersebut tidak dengan mudah mengalahkan kenyamanan tempat saya dibesarkan. Mungkin bukan soal saya lahir di sana, tetapi soal bagaimana tanah tersebut membesarkan saya, mendidik saya dengan kearifan lokalnya, sehingga sangat lekat dan berhasil memuat definisi ‘tanah kelahiran’ yang sesungguhnya.

Persoalan demikian pasti dirasakan oleh siapapun yang pergi merantau, jauh meninggalkan tanah kelahirannya. Hal lainnya yang dirasakan saat umur 18 atau 19, ialah soal bagaimana menjawab pertanyaan dari kehidupan lama dan bagaimana merespon kehidupan baru. Menyoal kehidupan lama sangat perlu, sebagai cara merefleksi diri atas apa saja yang sudah dilakukan selama ini. Kehidupan lama ialah kehidupan yang pernah ataupun masih dilakukan. Banyak hal dari kehidupan lama yang saya bawa pada jenjang kehidupan baru. Hal paling signifikan dalam masa transisi saya, ialah soal percintaan. Lagi-lagi berkutat pada satu hubungan yang sudah lama usang. Mempertahankan prinsip-prinsip lama yang berusaha dimaknai pada kehidupan baru dengan pikiran, yang mungkin, lebih mapan. Dan seringkali berujung bentrok dan sukar dibenahi. Tidak mengelak. Masa perkuliahan akan membawa siapapun pada hal-hal yang lebih rasional. Dan cinta tidak termasuk di dalamnya.

Dan soal kehidupan baru yang saya bicarakan di sini adalah kehidupan di tanah rantauan, dengan segala kelimpahan pengetahuan dan tantangan, serta kenaifan yang sangat menggiurkan.

Persoalan-persoalan demikian sering disebut dengan krisis umur, di mana terdapat umur-umur yang menjadi titik balik dari kehidupan setiap individu. Atau pada umur tertentu menjadi umur yang paling penting dan menentukan bagi dirinya. Yusuf, di film 3 Hari Untuk Selamanya, bilang, “Di umur 27 lo bakal mengambil keputusan yang akan mengubah jalan hidup lo.” Bahkan terdapat istilah Club 27 berisikan orang-orang keren yang mati muda di umur 27 tahun, sebut saja dua diantaranya Albert Camus dan Soe Hok Gie (yang tidak disebutkan oleh Yusuf di film). Dan Club 27 bergeser menjadi acuan bagi beberapa kalangan untuk mati muda dan keren di umur 27 tahun.

Sampai di sini, saya hanya bisa merumuskan satu jenjang umur yang paling berpengaruh dalam hidup saya. Umur 19 tahun, di tahun 2016.

Saya merasa hidup sepanjang tahun 2016 sangat rusuh, laiknya dihajar habis-habisan dari segala penjuru arah. Sebagai individu yang tunggal, saya memang harus menghadapinya sendiri. Bahwa segala resiko dan konsekuensi ditanggung oleh masing-masing individu. Jika saya harus menerima konsekuensi berat untuk melewatinya, maka saya babak belur sejadi-jadinya.

Tetapi selamat, saya genap 20 tahun hari ini. Saya berhasil mencapai pada jenjang selanjutnya, sekaligus berhasil mencegah diri untuk tidak mengakhiri hidup sebelum berumur 20 tahun. Sedikit banyak di tahun 2016 menjadi bahan renungan saya, tentang apa yang telah, sedang, dan akan saya lewati ke depan untuk bertahan hidup. Setidaknya membuat saya tetap waras, tetap memiliki akal, dan rasionalitas yang wajar. Mungkin itu pula yang membuat saya tidak betah berada di tempat umum, lebih banyak melamun (berpikir), dan lebih sering berpergian seorang diri. Bukan sesuatu yang buruk, saya rasa, karena sekarang hal-hal tersebut berubah menjadi cara. Cara-cara yang membuat saya nyaman dengan diri saya sendiri. Cara-cara yang mengubah perspektif saya terhadap masa depan, bahwa setidaknya masih ada hal-hal indah di dunia yang nestapa ini.

Saya berterima kasih atas siapa saja yang hadir dan turut menyertai kebahagiaan saya di umur 20 tahun. Mereka menjadi saksi yang melihat saya bahagia setelah hampir dua tahun masa kelam dalam jenjang kehidupan saya.

Sampai bertemu tahun depan, dengan lebih banyak kebahagiaan dan keindahan bersama saya.

***

Menyudahi post ini, saya ingin memamerkan sedikit kebahagiaan saya di tanggal 24 Februari 2017 dengan foto-foto yang sudah saya touch up sekenanya. Hari itu saya ‘diculik’ ke MesaStila, Losari, Grabag, Magelang, Jawa Tengah. Kebetulan hari itu mendung dan sorenya hujan lebat. Hujan lekat kaitannya dengan berkah, maka saya percayai hujan di hari ulang tahun membawa kebaikan kepada saya sepanjang tahun ini.

Foto diambil oleh Diatami Muftiarini (24/2).